Peradilan Rakyat
06.37 Posted In cerpen Edit This 0 Comments »
Cerpen Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?"
Read More…
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?"
23.06 Posted In 2 oktober 2008 , pHink'z Edit This 0 Comments »
assalamu'alaikum ...
Ahlan wasahlan,
minal 'aidzin wal faizin mohon maaf lahir batin,
1429 H ...
Smoga tau depan,
kita bs mjd org yg lbh baek ..
amin, Read More…
Ahlan wasahlan,
minal 'aidzin wal faizin mohon maaf lahir batin,
1429 H ...
Smoga tau depan,
kita bs mjd org yg lbh baek ..
amin, Read More…
Semua Wanita Itu Ternyata Sama
18.25 Posted In 28 sept , phinkz Edit This 0 Comments »Anda pernah memperhatikan kehidupan wanita di Timur, di Barat, di
kota-kota, di hutan-hutan belantara atau di mana saja? Tentu sebagian
besar pernah, meskipun hanya melalui TV. Apa yang menarik? Tentunya
banyak, apalagi buat kaum pria, meskipun selera berbeda-beda. Antara lain
yang menarik perhatian saya adalah bahwa wanita itu semuanya punya
kesibukan sama, yaitu bakti pada suami, mengurus anak dan rumah keluarga.
Di hutan Irian ketika kaum lelaki santai ngobrol dengan sesamanya,
wanitanya sibuk momong anak-anaknya yang kecil atau membuatkan makanan
untuk keluarga. Jangan mengira bahwa wanita Barat yang dikenal sebagai
pejuang emansipasi itu berbeda dari kaumnya yang masih di pedalaman Irian,
Kalimantan ataupun Afrika..., sama, semua sama! Di Barat ketika suami
asyik nonton sepak bola di TV atau santai baca koran di kursi, istri sibuk
membuatkan kopi atau menyiapkan hidangan makan bersama. Kebalikannya,
tidak pernah terjadi, maka tepatlah kalau perempuan mengatakan "lelaki
adalah makhluk yang termanja di dunia". Oleh karena itu kalau ada
perempuan yang menentang sunnatuLlah ini ia tidak mau hidup seperti
umumnya perempuan yang berbakti pada suami dan keluarga, haruslah
siap-siap untuk menjadi perawan tua atau menjadi janda muda (cepat cerai)
yang kemudian hidup menyendiri sampai akhir hayat seperti yang banyak
terjadi di Barat. Saya katakan sebagai sunnatuLlah karena mengingat bahwa
keadaan itu bukanlah monopoli masyarakat Arab atau masyarakat Islam yang
sering dipojokkan sebagai umat yang menjadikan wanita manusia kelas dua,
melainkan adalah fakta umum yang terjadi di semua masyarakat primitive dan
madany, bahkan juga terjadi pada binatang. Cobalah anda perhatikan
masyarakat burung, si betina berminggu-minggu mengeram sendirian di saat
yang sama si jantan dengan bebasnya terbang kemana-mana atau bermain cinta
dengan betina lain, setelah anak menetas si betina pun biasanya sendirian
mencari makan, menyuapi anak-anaknya, serta menjaga mereka dari ancaman
musuh. Begitu pula masyarakat kucing, harimau dan sejenisnya, si betina
harus sendirian melahirkan anaknya dan membesarkan mereka, bahkan
terkadang si betina juga harus menjaga anak-anaknya yang masih kecil agar
tidak dibunuh oleh bapaknya sendiri.
Anda pernah memperhatikan kehidupan wanita di Timur, di Barat, di
kota-kota, di hutan-hutan belantara atau di mana saja? Tentu sebagian
besar pernah, meskipun hanya melalui TV. Apa yang menarik? Tentunya
banyak, apalagi buat kaum pria, meskipun selera berbeda-beda. Antara lain
yang menarik perhatian saya adalah bahwa wanita itu semuanya punya
kesibukan sama, yaitu bakti pada suami, mengurus anak dan rumah keluarga.
Di hutan Irian ketika kaum lelaki santai ngobrol dengan sesamanya,
wanitanya sibuk momong anak-anaknya yang kecil atau membuatkan makanan
untuk keluarga. Jangan mengira bahwa wanita Barat yang dikenal sebagai
pejuang emansipasi itu berbeda dari kaumnya yang masih di pedalaman Irian,
Kalimantan ataupun Afrika..., sama, semua sama! Di Barat ketika suami
asyik nonton sepak bola di TV atau santai baca koran di kursi, istri sibuk
membuatkan kopi atau menyiapkan hidangan makan bersama. Kebalikannya,
tidak pernah terjadi, maka tepatlah kalau perempuan mengatakan "lelaki
adalah makhluk yang termanja di dunia". Oleh karena itu kalau ada
perempuan yang menentang sunnatuLlah ini ia tidak mau hidup seperti
umumnya perempuan yang berbakti pada suami dan keluarga, haruslah
siap-siap untuk menjadi perawan tua atau menjadi janda muda (cepat cerai)
yang kemudian hidup menyendiri sampai akhir hayat seperti yang banyak
terjadi di Barat. Saya katakan sebagai sunnatuLlah karena mengingat bahwa
keadaan itu bukanlah monopoli masyarakat Arab atau masyarakat Islam yang
sering dipojokkan sebagai umat yang menjadikan wanita manusia kelas dua,
melainkan adalah fakta umum yang terjadi di semua masyarakat primitive dan
madany, bahkan juga terjadi pada binatang. Cobalah anda perhatikan
masyarakat burung, si betina berminggu-minggu mengeram sendirian di saat
yang sama si jantan dengan bebasnya terbang kemana-mana atau bermain cinta
dengan betina lain, setelah anak menetas si betina pun biasanya sendirian
mencari makan, menyuapi anak-anaknya, serta menjaga mereka dari ancaman
musuh. Begitu pula masyarakat kucing, harimau dan sejenisnya, si betina
harus sendirian melahirkan anaknya dan membesarkan mereka, bahkan
terkadang si betina juga harus menjaga anak-anaknya yang masih kecil agar
tidak dibunuh oleh bapaknya sendiri.
Anda pernah memperhatikan kehidupan wanita di Timur, di Barat, di
kota-kota, di hutan-hutan belantara atau di mana saja? Tentu sebagian
besar pernah, meskipun hanya melalui TV. Apa yang menarik? Tentunya
banyak, apalagi buat kaum pria, meskipun selera berbeda-beda. Antara lain
yang menarik perhatian saya adalah bahwa wanita itu semuanya punya
kesibukan sama, yaitu bakti pada suami, mengurus anak dan rumah keluarga.
Di hutan Irian ketika kaum lelaki santai ngobrol dengan sesamanya,
wanitanya sibuk momong anak-anaknya yang kecil atau membuatkan makanan
untuk keluarga. Jangan mengira bahwa wanita Barat yang dikenal sebagai
pejuang emansipasi itu berbeda dari kaumnya yang masih di pedalaman Irian,
Kalimantan ataupun Afrika..., sama, semua sama! Di Barat ketika suami
asyik nonton sepak bola di TV atau santai baca koran di kursi, istri sibuk
membuatkan kopi atau menyiapkan hidangan makan bersama. Kebalikannya,
tidak pernah terjadi, maka tepatlah kalau perempuan mengatakan "lelaki
adalah makhluk yang termanja di dunia". Oleh karena itu kalau ada
perempuan yang menentang sunnatuLlah ini ia tidak mau hidup seperti
umumnya perempuan yang berbakti pada suami dan keluarga, haruslah
siap-siap untuk menjadi perawan tua atau menjadi janda muda (cepat cerai)
yang kemudian hidup menyendiri sampai akhir hayat seperti yang banyak
terjadi di Barat. Saya katakan sebagai sunnatuLlah karena mengingat bahwa
keadaan itu bukanlah monopoli masyarakat Arab atau masyarakat Islam yang
sering dipojokkan sebagai umat yang menjadikan wanita manusia kelas dua,
melainkan adalah fakta umum yang terjadi di semua masyarakat primitive dan
madany, bahkan juga terjadi pada binatang. Cobalah anda perhatikan
masyarakat burung, si betina berminggu-minggu mengeram sendirian di saat
yang sama si jantan dengan bebasnya terbang kemana-mana atau bermain cinta
dengan betina lain, setelah anak menetas si betina pun biasanya sendirian
mencari makan, menyuapi anak-anaknya, serta menjaga mereka dari ancaman
musuh. Begitu pula masyarakat kucing, harimau dan sejenisnya, si betina
harus sendirian melahirkan anaknya dan membesarkan mereka, bahkan
terkadang si betina juga harus menjaga anak-anaknya yang masih kecil agar
tidak dibunuh oleh bapaknya sendiri.
Anda pernah memperhatikan kehidupan wanita di Timur, di Barat, di
kota-kota, di hutan-hutan belantara atau di mana saja? Tentu sebagian
besar pernah, meskipun hanya melalui TV. Apa yang menarik? Tentunya
banyak, apalagi buat kaum pria, meskipun selera berbeda-beda. Antara lain
yang menarik perhatian saya adalah bahwa wanita itu semuanya punya
kesibukan sama, yaitu bakti pada suami, mengurus anak dan rumah keluarga.
Di hutan Irian ketika kaum lelaki santai ngobrol dengan sesamanya,
wanitanya sibuk momong anak-anaknya yang kecil atau membuatkan makanan
untuk keluarga. Jangan mengira bahwa wanita Barat yang dikenal sebagai
pejuang emansipasi itu berbeda dari kaumnya yang masih di pedalaman Irian,
Kalimantan ataupun Afrika..., sama, semua sama! Di Barat ketika suami
asyik nonton sepak bola di TV atau santai baca koran di kursi, istri sibuk
membuatkan kopi atau menyiapkan hidangan makan bersama. Kebalikannya,
tidak pernah terjadi, maka tepatlah kalau perempuan mengatakan "lelaki
adalah makhluk yang termanja di dunia". Oleh karena itu kalau ada
perempuan yang menentang sunnatuLlah ini ia tidak mau hidup seperti
umumnya perempuan yang berbakti pada suami dan keluarga, haruslah
siap-siap untuk menjadi perawan tua atau menjadi janda muda (cepat cerai)
yang kemudian hidup menyendiri sampai akhir hayat seperti yang banyak
terjadi di Barat. Saya katakan sebagai sunnatuLlah karena mengingat bahwa
keadaan itu bukanlah monopoli masyarakat Arab atau masyarakat Islam yang
sering dipojokkan sebagai umat yang menjadikan wanita manusia kelas dua,
melainkan adalah fakta umum yang terjadi di semua masyarakat primitive dan
madany, bahkan juga terjadi pada binatang. Cobalah anda perhatikan
masyarakat burung, si betina berminggu-minggu mengeram sendirian di saat
yang sama si jantan dengan bebasnya terbang kemana-mana atau bermain cinta
dengan betina lain, setelah anak menetas si betina pun biasanya sendirian
mencari makan, menyuapi anak-anaknya, serta menjaga mereka dari ancaman
musuh. Begitu pula masyarakat kucing, harimau dan sejenisnya, si betina
harus sendirian melahirkan anaknya dan membesarkan mereka, bahkan
terkadang si betina juga harus menjaga anak-anaknya yang masih kecil agar
tidak dibunuh oleh bapaknya sendiri.
Nasihat Kepada Perempuan
18.46 Posted In 18 sept '08 , phinkz Edit This 0 Comments »
Demikian wahai lagi perempuan,
Taatlah kepada suamimu tuan,
Jangan menderhaka jangan melawan,
Jadikan dirimu bersifat setiawan.
Jangan sekali berniat khianat,
Apalagi kurang amanat,
Pekerjaan wajin bukannya sunat,
Jika dilawan mendapat laknat.
Pertama di dunia mendapat malu,
Di dalam akhirat tubuh terpalu,
Masyhur khabar ke hilir ke hulu,
Sebab perangai tidak bermalu.
Sangatlah murka Rabbulizzati,
Perintah suami tidak dituruti,
Hendaklah taat bersungguh hati,
Kepada suamimu berbuat bakti.
Jangan takburkan rupamu elok,
Melebihi kebanyakan makhluk,
Menyangka dirimu tiada tertolok,
Jadilah suamimu diperolok-olok.
Jangan sekali takburkan bangsa,
Martabat tinggi di negeri dan desa,
Memandang suamimu seperti rusa,
Sombonglah tuan tutur bahasa.
Tiada menurut apa perintahnya,
Perkataan kasar selalu keluarnya,
Muka dimasamkan di hadapannya,
Jadilah suami pecah hatinya.
Jika diperbuat demikian itu,
Nyatalah kamu syaitan dan hantu,
Hargamu tiada serial batu,
Tiadalah harus dibuat menantu.
Dukalah tuan sehari-hari,
Suami pun benci tiada terperi,
Jika suamimu bijak bestari,
Duduklah dia mendiamkan diri.
Tetapi hatinya rosaklah sudah,
Kerana perbuatanmu yang haram jadah,
Jadilah suamimu berhati gundah,
Tiadalah kamu mendapat faedah.
Hanyalah dari balasan ngeri,
Dimurkai Tuhan waidul kahri,
Mendapat sengsara di dua negeri,
Celaka bertambah sehari-hari. Read More…
Taatlah kepada suamimu tuan,
Jangan menderhaka jangan melawan,
Jadikan dirimu bersifat setiawan.
Jangan sekali berniat khianat,
Apalagi kurang amanat,
Pekerjaan wajin bukannya sunat,
Jika dilawan mendapat laknat.
Pertama di dunia mendapat malu,
Di dalam akhirat tubuh terpalu,
Masyhur khabar ke hilir ke hulu,
Sebab perangai tidak bermalu.
Sangatlah murka Rabbulizzati,
Perintah suami tidak dituruti,
Hendaklah taat bersungguh hati,
Kepada suamimu berbuat bakti.
Jangan takburkan rupamu elok,
Melebihi kebanyakan makhluk,
Menyangka dirimu tiada tertolok,
Jadilah suamimu diperolok-olok.
Jangan sekali takburkan bangsa,
Martabat tinggi di negeri dan desa,
Memandang suamimu seperti rusa,
Sombonglah tuan tutur bahasa.
Tiada menurut apa perintahnya,
Perkataan kasar selalu keluarnya,
Muka dimasamkan di hadapannya,
Jadilah suami pecah hatinya.
Jika diperbuat demikian itu,
Nyatalah kamu syaitan dan hantu,
Hargamu tiada serial batu,
Tiadalah harus dibuat menantu.
Dukalah tuan sehari-hari,
Suami pun benci tiada terperi,
Jika suamimu bijak bestari,
Duduklah dia mendiamkan diri.
Tetapi hatinya rosaklah sudah,
Kerana perbuatanmu yang haram jadah,
Jadilah suamimu berhati gundah,
Tiadalah kamu mendapat faedah.
Hanyalah dari balasan ngeri,
Dimurkai Tuhan waidul kahri,
Mendapat sengsara di dua negeri,
Celaka bertambah sehari-hari. Read More…
Wanita Yang Mulia Dalam Pandangan Allah
08.06 Posted In 17sept '08 , phinkz Edit This 0 Comments »Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Sebaik-baik wanita adalah apabila engkau pandang dia maka dia menggembirakan, bila engkau perintah dia taat, bila engkau tiada dia menjaga hartamu dan menjaga pula kehormatan dirinya."Ada sebuah riwayat bahwa pada zaman Nabi SAW ada seorang laki-laki yang akan berangkat untuk berperang di jalan Allah. Dia berpesan kapada isterinya, "Wahai istriku ...janganlah sekali-kali engkau meninggalkan rumah ini sehingga aku kembali." Secara kebetulan ayahnya menderita sakit, maka wanita tadi mengutus seorang lelaki menemui Rasulullah SAW dan Baginda Nabi bersabda kepada utusan itu, "Agar dia taati suaminya" Demikian pula wanita itu mengutus utusannya bukan hanya sekali sehingga akhirnya dia mentaati suaminya dan tidak berani keluar rumahnya. Maka ayahnya meninggal dunia tetapi dia tetap tidak melihat mayat ayahnya. Dia tetap sabar sehingga suaminya pulang. Maka Allah memberi wahyu kepada Rasulullah yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah telah mengampuni wanita tersebut disebabkan ketaatannya kepada suaminya."Dalam riwayat yang lain mengatakan bahawa Allah turut mengampuni dosa ayahnya disebabkan ketaatan anaknya itu. Inilah sebenarnya hal yang menyebabkan wanita diridhai oleh Allah bukannya dalam persamaan hak yang seperti dituntut oleh orang yang tidak memahami agama. Sedangkan dalam peristiwa Isra' Mi'raj, Nabi SAW telah melihat ke dalam syurga yang mana Allah memasukkan wanita ke dalam syurga 500 tahun lebih awal dari suami mereka, dan bila melihat ke dalam neraka Nabi SAW dapati 2/3 dari penghuninya adalah wanita. Oleh itu takutilah kita semua akan ALLAH. Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Apabila seorang wanita mencuci pakaian suaminya, maka Allah mencatat baginya 1000 kebaikan, diampunkan 2000 kesalahan bahkan segala sesuatu yang disinari matahari akan memohon ampun baginya dan Allah mengangkat 1000 derajat untuknya."Maulana Syed Ahmad Khan menceritakan kelebihan yang dimiliki oleh wanita. Menurutnya, Seorang wanita solehah lebih baik dari seorang wali Allah, wanita pembuat tepung dengan membaca Bismillah akan diberkati Allah rezekinya, wanita penyapu lantai sambil berdzikir mendapat pahala seperti membersihkan Baitullah, Wanita solehah lebih baik dari 70 orang laki-laki yang soleh. Allah akan memberkati rezeki apabila wanita memasak sambil berdzikir, Seorang wanita yang menutup auratnya dengan jilbab ditingkatkan oleh Allah cahaya wajahnya 13 kali dari wajah asalnya. Semua orang akan dipanggil untuk melihat wajah Allah yang Maha Indah di akhirat nanti tetapi Allah sendiri akan datang untuk berjumpa dengan wanita yang menutup auratnya dengan memakai jilbab dan ia istiqamah dengan itu.Pengorbanan seorang wanita amat dihargai oleh Allah dan Rasul-Nya. Hanya saja kita kurang mengetahui kelebihan dan kemuliaan yang dikaruniakan kepada kita semua. (bay/um)
Read More…
hUkUm pAndAngAn mAtA
10.34 Posted In phinkz Edit This 0 Comments »Allah menjadikan mata sebagai cermin hati.Jika seseorang menahan pandangan matanya , maka ia menahan shahwat dan keinginan hatinya. Oleh karena itulah maka menahan pandangan disebutkan lebih awal dari menjaga kemaluan. Mata merupakan karunia Allah yang sangat indah , dari matalah seorang manusia bisa melihat keindahan dunia beserta isinya. Karena itulah Allah memerintahkan manusia untuk mensyukuri karunia-Nya itu dengan cara menahan pandangan mata itu dari hal-hal yang dapat mengakibatkan kerusakan. Dan karena mata merupakan sebuah cerminan hati , maka pandangan mata yang tidak terkontrol akan menyebabkan rusaknya pikiran dan hati karena dipenuhi oleh hawa nafsu syahwat yang merusak seperti khayalan yang mengarah pada hubungan seksualdan lain sebagainya.
"Wahai Ali , janganlah kamu susuli pandangan dengan pandangan lagi karena yang pertama menjadi bagianmu dan yang kedua bukan lagi menjadi bagianmu (dosa atasmu)"
(HR Abu Daud)
Dari hadis ini diterangkan bahwa tidaklah mengapa apabila seorang laki-laki atau perempuan memandang lawan jenisnya akan tetapi Rasulullah SAW juga memerintahkan untuk menjaga
pandangan itu supaya tidak liar dan dipenuhi nafsu syahwat bagaikan hendak menelan laki-laki atau perempuan tersebut . Sudah fitrah manusia menyukai keindahan , dan ketampanan
ataupun kecantikan seorang manusia merupakan salah satu bentuk keindahan.Akan tetapi memandang lawan jenis bahkan sampai mengamat-ngamati ketampanan ataupun kecantikannya dengan maksud bersenang-senang dan memuaskan nafsunya merupakan sebuah zina mata
"Dua mata itu bisa berzina dan berzinanya ialah melihat"
(HR Bukhari)
Read More…
"Wahai Ali , janganlah kamu susuli pandangan dengan pandangan lagi karena yang pertama menjadi bagianmu dan yang kedua bukan lagi menjadi bagianmu (dosa atasmu)"
(HR Abu Daud)
Dari hadis ini diterangkan bahwa tidaklah mengapa apabila seorang laki-laki atau perempuan memandang lawan jenisnya akan tetapi Rasulullah SAW juga memerintahkan untuk menjaga
pandangan itu supaya tidak liar dan dipenuhi nafsu syahwat bagaikan hendak menelan laki-laki atau perempuan tersebut . Sudah fitrah manusia menyukai keindahan , dan ketampanan
ataupun kecantikan seorang manusia merupakan salah satu bentuk keindahan.Akan tetapi memandang lawan jenis bahkan sampai mengamat-ngamati ketampanan ataupun kecantikannya dengan maksud bersenang-senang dan memuaskan nafsunya merupakan sebuah zina mata
"Dua mata itu bisa berzina dan berzinanya ialah melihat"
(HR Bukhari)